Rabu, 12 Februari 2025

Di Kampung Bersemayam Sejuta Cerita, Seribu Kenangan


PRIBAHASA lama mengatakan hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Pribahasa ini seolah olah ingin mengatakan, bahwa kampung halaman dimana seseorang dilahirkan, dibesarkan akan tetap selalu bersama dalam kalbu, walaupun sudah merasa hidup matang di kota. Suasana perasaan kala di kampung menyatu dengan semesta, menyentuh relung hati kala berpijak di tempat-tempat tertentu yang dulu pernah menyimpan kisah.

Setiap kali kembali ke kampung. Saya berkesempatan menyambangi tempat-tempat yang dulu di masa kecil berkisar tentang geliat tawa, tangisan, teriakan memekkan semesta. Tempat itu mengingat kembali ketika hari dilalui bersama anak-anak kampung yang seangkatan kalah itu,  bermain gasing,bermain bola, berpetualangan ke hutan membawah katepel untuk  mencari burung, menyelam di sungai, menangkap udang dan kepiting di sela-sela bebatuan, dan bahkan sering didatangi oleh ibu dengan kayu di tangan kala terlalu lama menghabiskan waktu bermain

Masa-masa itu telah kembali menyeruak ke permukaan memori.  Seolah Menyaksikan kampung yang sudah bersolek dengan berbagai macam lampu hias, bunyi bunyian  seolah olah sedang menepikan kesunyian  malam,  sedangkan yang dulunya warga hanya mengandalkan lampu pelita, dan lampu gas bagi warga yang mampu, bunyi bunyian hanya mengandalkan radio dan tape,  rumah warga yang yg notabenenya daun gewang itu menjadi tempat bersemayam warga kampung. namun kini mulai tergantikan dengan rumah berbahan semen dan seng yang terlihat praktis, dan saya berpresepsi bahwa mungkinkah kesunyian itu telah selesai.

Semua perlahan berubah. Saya hanya bisa mengingat kembali masa-masa, dimana kampung masih cukup asri, air  yang jernih, jalan kampung yang sepi kendaraan, anak-anak yang main berkelompok dengan saling mengejar dan bersembunyi di balik pohon pisang.

Ketika malam meninggi, para pemuda mulai berkumpul di tempat tongkrongan mereka  sambil mendengar radio yg jaman itu satu satu nya alat penghibur  bagi  kaum muda, dan mengisap rokok kretek ditemani kopi hitam. Suara jangkring, nyanyian burung dari arah gunung ikut menemani malam warga kampung. Di tongkrongan kisah itu di wartakan, beberapa yang lain sesekali tertawa ketika cerita itu bernada humoris. Di tangan hanya rokok, dan tak ada handphone, apa lagi kunci motor. Seperti yang ada di era modernisasi ini.

ladang merupakan kantor bagi sebagian besar warga kampung. Dan Sangat sedikit yang berprofesi lain. Di musim tanam, ketika terang tanah dan mentari pagi mulai menyapa semesta, ufuk pagi masih sangat sejuk, sesekali terlihat kelelawar menepuk sayap dan meloncat  riang kembali ke habitatnya, seolah mereka mengisyaraktkan bahwa perut mereka telah terisi kenyang, burung berkicau nyaring menyambut hari baru yang penuh harmonis. 
warga akan terlihat sibuk di beberapa sudut gang kampung. Mereka bersiap menuju ladang dengan menyusuri jalan-jalan setapak yang berada di bebukitan,

Penggalan masa itu, menyeruak di benak kala menikmati secangkir kopi Masa itu hanya bisa kukenang kini. Ia telah berlalu bersama waktu, menghilang ditelan modernisasi yang angkuh, dan dihempas kesombongan canggihnya teknologi.

Tak terdengar lagi suara setiap pagi dan setiap petang para warga sibuk dengan memanggil ternaknya  kembali ke kandang, kuda yang dulunya menjadi tunggangan warga untuk mempercepat aktifitas nya kini tinggal cerita, tak terdengar lagi setiap musim panen  setiap warga harus memanen jagung satu-dua mobil truk lagi , Semua nampak berubah, gagal panen sudah menjadi cerita yang memprihatinkan warga kampung. Air yang mengairi setiap tanaman umur panjang berupa kelapa, pisang dan tanama holtikultura lain nya di setiap pekarangan dan rumah warga kini sudah enggang menyapa, kodok tak terlihat bahkan tak terdengar lagi kala melintas di setiap titik bak penampungan, dulu nya warga tidur terpisang dengan ternak kini warga harus seatap,  dulu setiap pekarangan warga gunung yang menghijau kini telah tergerus keangkuhan serta keserakahan tangan-tangan manusia.

Waktu begitu cepat berlalu, menggerus semua yang alami. Alam kini tak lagi bersahabat. Kemurkaannya dilampiaskan hampir menenggelam  wilaya yg mungil itu,  Wajarkah itu?kadang manusia diingatkan dengan beragam musibah agar menyadari tangan keserakahan-nya berhenti merusak, dimanakah tuannya kaum milenial yang hidup di era modernisasi?? Dosa siapakah, salah siapakah, jawabnya hanya di relung hati.

               Tinis 26 November 2024

              Penulis: @juandjuanna

DIA SARJANA, BETA MARANA Tukar Cerita (sumber disamarkan

Beta berjuang sebisanya. Beta punya pacar yang beta sayang sekali. Katong pacaran sudah 7 tahun, dari SMA. Dia cita-cita mau jad...